Minggu, 15 Februari 2009
Irena Handono : Hidup Kian Indah dengan Islam
Allah
selalu memberi petunjuk kepada siapa saja yang mencari kebenaran, di
mana pun hamba-Nya berada. Di biara sekali pun. Itulah yang terjadi pada
Irena Handono yang mendapat hidayah justru saat mencari kelemahan
Islam.
Ketertarikan Irena terhadap Islam
bermula ketika ia memutuskan untuk mengikuti kata hatinya menjadi
biarawati. Selain mengenyam pendidikan di biara, secara bersamaan Irena
juga menekuni pendidikan di Institut Filsafat Teologia. Ia mengambil
studi perbandingan agama. Dari sanalah, awal mula ia bersentuhan dengan
Islam.
Ketika mempelajari Islamologi, para
dosen yang mengajarinya memberikan pengantar. Sang dosen berkata,
''Kalau saya mau mempelajari Islam, lihat saja umat Islam di Indonesia,
mereka bagaimana.'' Dari situ, pengajar itu menyimpulkan bahwa umat
Islam identik dengan kemiskinan, kebodohan, teroris, dan semua hal yang
jelek.
Mendengar penjelasan itu, Irena berpikir
keras. Ia tidak serta-merta mengiyakan. Ia berpikir kritis dan berkata,
''Justru simpulan itu perlu diuji karena Islam tidak hanya di
Indonesia. Sama halnya dengan Kristen dan Katolik. Kita lihat di
Filipina dan Meksiko yang jadi maling, penipu, dan pemabuk itu bukan
orang Islam, tapi mereka yang Katolik.''
Dari
perdebatan kecil ini, Irena menjadi tertarik mempelajari Islam. Ia pun
mengusulkan dan meminta izin kepada dosennya untuk mempelajari Islam
langsung dari sumbernya, yaitu Alquran. Usulan itu diterima. Tapi,
dengan catatan, ia harus mencari kelemahan Islam. ''Di situlah, untuk
pertama kali, saya memegang Alquran,'' ucapnya.
Reaksi
yang muncul pertama kali ketika Irena memegang kitab suci Alquran
adalah sebuah kebingungan. Ia tidak tahu harus membuka kitab itu dari
mana. Huruf-hurufnya pun tidak dikenalnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk
mencari Alquran yang ada terjemahannya.
Ketika
mempelajari terjemahan, ia masih sempat bingung. Kebingungan itu karena
ia tidak mengerti bahwa membaca Alquran dimulai dari kiri. Ia justru
terbalik dengan membukanya dari kanan. Alhasil, yang ia pelajari lebih
dulu surat-surat yang letaknya di belakang. Yang pertama kali ia pandang
adalah surat Al-Ikhlas. Surat inilah yang memperkenalkan Irena kepada
ketauhidan dalam Islam. Pada saat bersamaan, ia sedang menekuni teologia
(konsep Tuhan dalam Katolik).
Peristiwa itu
terjadi sekitar tahun 1973. Setelah membacanya, suara hati Irena
membenarkan bahwa Allah itu satu, Allah tidak beranak, tidak
diperanakkan, dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia. ''Ini logis, ini
benar, dan bisa diterima serta dipahami,'' ujarnya.
Apa
yang ia temukan dalam surat Al-Ikhlas berbeda sekali dengan konsep
Tuhan yang dipelajarinya saat kuliah teologia. Dalam teologi Katolik dan
Kristen, kata dia, secara keseluruhan konsep Tuhan itu trinitas, yaitu
Tuhan Bapak, Tuhan Putra, dan Tuhan Roh Kudus.
Akhirnya,
terjadilah diskusi antara Irena dengan dosennya mengenai konsep
ketuhanan hingga mengerucut kepada sejarah gereja. Dari diskusi
tersebut, Irena menarik simpulan bahwa Yesus yang selama ini ia yakini
sebagai Tuhan hanyalah seorang manusia yang dipertuhankan oleh manusia.
Kesimpulan ini menuai kritik dari sang dosen dan menganggap apa yang
Irena sampaikan sebagai pemikiran yang sesat dan anti-Kristus.
Tiap malam
Kebiasaan
mengkaji Alquran ia teruskan setiap malam. ''Dari awalnya sekadar
meneliti, kemudian membenarkan, dan akhirnya saya semakin kagum,''
ungkapnya. Ia pun memutuskan keluar dari biara.
Sekeluarnya
dari biara, Irena mencari ustaz yang dianggap bisa membimbingnya untuk
mempelajari Islam lebih jauh lagi sebelum memutuskan masuk Islam. Kala
itu, tahun 1983, ia mendapat bimbingan dari KH Ahmad Sujai (Alm) dan KH
Misbach (Alm), ketua MUI Jawa Timur.Dari penjelasan sederhana mengenai
Islam yang diperolehnya dari kedua ustaz tersebut, dengan mantap
akhirnya Irena memutuskan menjadi Muslim. Bertepatan satu hari sebelum
bulan Ramadhan, ia mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan KH
Misbach (Alm) di Masjid Al-Falah, Surabaya.
Konsekuensi
dari keputusannya ini, Irena menerima makian hingga teror dari sang
suami yang tetap bersikukuh memeluk agama Katolik. Dihadapkan pada
pilihan itu, ia memutuskan mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah
berjalan selama enam tahun. Meskipun demikian, toh Irena tetap
mensyukuri karena ketiga buah hatinya berhasil ia selamatkan.
Kini,
keislamannya sudah berjalan selama 26 tahun. Namun, hingga saat ini, ia
masih kerap menerima ancaman teror dan fitnah. Ancaman teror dan
fitnah, ungkapnya, tidak hanya datang dari kalangan di luar Islam,
tetapi juga dari orang yang menganut Islam. Pengalaman tidak
menyenangkan itu ia paparkan dalam bukunya berjudul Menyingkap Fitnah dan Teror.
Di
buku itu, Irena mengungkapkan ada 31 macam teror yang pernah ia terima.
Teror dan fitnah tersebut, kata dia, mulai dari menyebarkan hasutan
bahwa ia seorang penyusup hingga menunjukkan surat pernyataan palsu
bermaterai yang menyebutkan bahwa pada 15 November si pembuat pernyataan
melihat dirinya keluar dari Katedral di Singapura dengan masih lengkap
memakai salib.
Bukannya balik menyerang, justru
Irena minta dipertemukan dengan si pembuat surat pernyataan. ''Yang
menyebarkan surat pernyataan tadi silakan datang dengan istri dan
anak-anaknya. Di sinilah, kita mubahalah (melakukan sumpah) dan
disaksikan oleh MUI setempat dan diliput oleh seluruh pers.''
Berbagai
teror dan fitnah yang dilancarkan terhadap dirinya ini tidak lantas
membuat Irena berhenti untuk menyerukan ajaran Islam. Bahkan, hal
tersebut membuatnya terpacu untuk terus melakukan dakwah, baik melalui
lisan maupun tulisan. ''Saya anggap itu semua untuk mengurangi dosa
saya,'' ujarnya.
Dengan berbagai macam ujian
dan peristiwa yang dialaminya semenjak memutuskan menerima Islam, justru
ia merasakan hidup yang dijalaninya semakin indah, semakin mulia, dan
semakin ia mensyukuri. Ia akhirnya sampai pada suatu simpulan, ''Kalau
ingin menjadi manusia seutuhnya, dia bisa melaksanakan fungsi
kemanusiaannya dengan baik. Satu-satunya cara adalah menjadi Islam.''
Dalam
pandangannya, manusia tanpa Alquran belumlah sempurna. Kesempurnaan itu
akan terjadi ketika hamba Allah ini menjadikan Alquran sebagai panduan
hidup. ''Yang kita lihat di Tanah Air kita, banyak yang sudah ber-KTP
Islam, tapi Alquran belum sebagai panduan hidupnya,'' ucapnya. (nidia
zuraya)
-----
BiodataNama : Irena HandonoNama Kecil : Han Hoo LieTempat/tanggal lahir: Surabaya, 30 Juli 1954
Lembaga
Katolik yang pernah digelutinya: Biarawati, Seminari Agung (Institut
Filsafat Teologia Katolik), Ketua Legio Maria, dan Universitas Katolik
Atmajaya Jakarta.
Berkiprah di beberapa lembaga, di
antaranya ICMI, PITI, Al-Ma'wa (Pembina Mualaf) Surabaya, Pengasuh
Majelis Taklim Al-Muhtadin, Forum Komunikasi Lembaga Pembina Mualaf
(FKLPM), Forum Gerakan Anti-Pornografi dan Pornoaksi (FORGAPP), Lembaga
Advokasi Muslim (LAM), Gerakan Muslimat Indonesia (GMI), Majlis Ilmuwan
Muslimah se-Dunia Cabang Indonesia (MAAI), Muslimah Peduli Umat (MPU),
dan Irena Center.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar